Sistem Perekonomian Islam (Part .1)

D Ryandi
SyarQ — #1 Halal Platform
3 min readAug 20, 2018

--

Beberapa nilai yang dianut oleh sistem perekonomian Islam adalah:

Perekonomian Islam bukan hanya ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat Muslim saja, tetapi juga masyarakat luas termasuk non-Muslim. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyerukan penggunaan kerangka kerja perekonomian Islam, di antaranya sebagai berikut:

“… Makan dan minumlah dari rezeki (yang diberikan) Allah dan janganlah berkeliaran di muka bumi ini dengan berbuat kerusakan.” (QS. Al-Baqarah: 60).

“Hai manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langka- langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al-Baqarah: 168).

“Hai orang-orang yang beriman, jaganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagimu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. Dan, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang telah Allah rezekikan kepadamu dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Maa’idah: 87–88)

Semua ayat diatas merupakan dasar pemikiran, yang berasal dari pesan Al-Qur’an, dalam bidang ekonomi. Dari ayat-ayat tersebut terlihat bahwa Islam mendorong penganutnya untuk menikmati karunia yang telah diberikan oleh Allah. Karunia yang harus didayagunakan demi meningkatkan pertumbuhan, baik materi maupun nonmateri.

Islam juga mendorong penganutnya berjuang mendapatkan materi/harta dengan berbagai cara, asalkan mengikuti rambu-rambu yang telah ditetapkan. Salah satu hadits Rasulullah SAW menegaskan:

“Kaum muslimin (dalam kebebasan) sesuai dengan syarat dan kesepakatan mereka, kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (at-Tirmidzi).

Rambu-rambu yang dimaksud di antaranya:

  1. Cari yang halal lagi baik;
  2. Tidak menggunakan cara batil;
  3. Tidak berlebih-lebihan dan melampaui batas;
  4. Tidak dizalimi maupun menzalimi;
  5. Menjauhkan diri dari unsur riba, maisir (perjudian atau spekulasi yang disengaja), dan gharar (ketidakjelasan dan manipulatif); serta
  6. Tidak melupakan tanggung jawab sosial berupa zakat, infak dan sedekah.

Islam mendorong pemeluknya untuk bekerja. Allah memberikan jaminan dengan menetapkan rezeki setiap makhluk yang diciptakan-Nya. Islam juga melarang umatnya untuk meminta-minta atau mengemis. Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah SAW menyatakan:

“Barangsiapa yang mencari dunianya dengan cara yang halal, menahan diri dari mengemis, memenuhi kebutuhan keluarganya, dan berbuat kebaikan kepada tetangganya maka ia akan menemui Tuhan dengan muka atau wajah bersinar bagai bulan purnama.”

Islam dirancang sebagai rahmat untuk seluruh umat, menjadikan kehidupan lebih sejahtera dan lebih bernilai, tidak miskin dan menderita. Allah SWT berfirman:

“Dan, tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semsta alam.” (Al-Anbiyaa’: 107).

“… Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu….” (QS, Al-Baqarah: 185).

“… Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu supaya kamu bersyukur.” (QS. Al- Maa’idah: 6).

Muslim yang baik adalah orang yang memperhatikan faktor dunia dan akhirat secara seimbang. Sebaliknya, mereka yang meninggalkan urusan dunia demi kepentingan akhirat, dan meninggalkan akhirat untuk urusan dunia bukanlah muslim yang baik. Firman Allah SWT, artinya:

“Apabila telah ditunaikan sholat maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.” (QS. Al-Jumu’ah: 10)

Penyeimbangan aspek dunia dan akhirat merupakan karakteristik unik sistem ekonomi Islam. Perpaduan unsur materi dan spiritual ini tidak dijumpai dalam sistem perekonomian lain, baik kapitalis maupun sosialis.

Tidak ada yang meragukan peran sistem kapitalis dalam mengefisienkan produksi. Peran sistem sosialis dalam upaya pemerataan ekonomi pun sangat berharga. Akan tetapi, kedua sistem itu telah mengabaikan pemenuhan kebutuhan spiritual yang sangat dibutuhkan manusia.

dikutip dari:

Buku Ekonomi Islam untuk Sekolah Lanjutan (dengan sedikit penyesuaian)

Disusun oleh: Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec

--

--